JAKARTA : Di Indonesia, pembangunan Pembangkit Tenaga Nuklir (PLTN) masih mengundang protes keras dari masyarakat. Namun, tidak demikian halnya di sebagian negara lainnya.
Setengah abad lalu, Rusia (saat itu Uni Sovyet) membangun PLTN pertama di dunia, di wilayah Obsnik (dekat Moskow) dengan kapasitas produksi listrik 5 MW, disusul Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Hanya saja, pada periode tersebut sebagian besar PLTN masih tahap proyek uji coba.
Baru sekitar 1970-an, teknologi pembangkit tenaga nuklir masuk tahap komersialisasi. PLTN generasi kedua ini mengambangkan beberapa sistem reaktor, yaitu LWR (light water reactor) yang terdiri dari jenis PWR (pressurized water reactor) dengan kapasitas 900-1000 MW, serta BWR (boiling water reactor) .
Sistem lain, yaitu HWR (heavy water reactor) dengan pengembangan jenis reaktor Candu (Canadium natural uranium deuterium) dengan kapasitas 500-600 MW. Selain Kanada, Candu juga dibangun di India dan Korea.
Negara lain, mengembangkan sistem Graphite, dengan jenis AGR (advanced gas cooled reactor). “Kendati dikembangkan beragam sistem reaktor, namun sebagian besar negara menggunakan sistem PWR,” ujar Kepala Badan Tenaga Atom Nasional Hudi Hastowo saat ditemui di ruang kerjanya, minggu lalu. Tercatat sekitar 70 persen pembangunan PLTN periode 1970-1990 menggunakan sistem PWR.
Kemudian, pengembangan PLTN generasi III, dimulai sekitar 2000 dengan menyempurnakan sistem LWR (advance LWR). Pada periode ini, kapasitas produksi semakin ditingkatkan dari 1030 MW hingga 1400 MW. Negara-negara Eropa seperti Finlandia bahkan mengembangkan European Power Reactor (EPR) dengan kapasitas hingga 1600 MW .
Beberapa negara bagian Amerika Serikat, juga mengembangkan jenis AP (advance passive) 1000. Sistem ini memiliki tingkat keselamatan yang cukup baik dengan mengubah kerja sistem pendingin reaktor secara alami, dengan menempatkan air langsung di atas sistem pendingin, dan bekerja tanpa harus menggunakan pompa. Generasi sebelumnya, sistem pendingin menggunakan pompa untuk menumpahkan air, namun timbul kekhawatiran kerja reaktor akan terganggu jika pompa mendadak mati. “Selain lebih aman, sistem ini juga mengurangi biaya,” ujar Hudi Hastowo.
Tidak hanya berhenti disitu, melalui kesepakatan 10 negara yang tergabung Generation IV International Forum pada 2000, yaitu, Afrika Selatan, Argentina, Brazil, Kanada, Perancis, Jepang, Korea, Swiss, Inggris, termasuk Amerika Serikat, dikembangkan PLTN generasi IV.
“Berbeda dengan generasi sebelumnya, PLTN generasi IV ini menggunakan sistem pendingin yang bukan air. Selain itu, lebih aman, dan ekonomis, serta memiliki kapasitas produksi kecil hingga besar, tergantung kebutuhan,” ujarnya.
Setidaknya, sekitar 6 jenis sistem pendingin digunakan dalam teknologi nuklir generasi IV ini, yaitu Gas-Cooled Fast RS (GFR), Lead-Cooled Fast RS (LFR), Molten Salt RS (MSR), Sodium-Cooled Fast RS (SFR), Supercritical-Water-Cooled RS (SCWR), serta Very-High-Temperature RS (VHTR).
Keuntungannya, jika pipanya ikut hancur atau meleleh, maka logam cair akan langsung padat kembali terkena udara luar. “Itu sebabnya, bahaya seperti kasus Chernobyl bisa dielakkan. Tingkat keselamatannya jauh lebih baik, karena penggunaan bahan bakar plutonium yang lebih sedikit dan ekonomis. Sistem ini juga sangat sedikit menghasilkan limbah radioaktif, serta mengurangi penyalahgunaan untuk keperluan militer,” ujarnya.
Penyalahgunaan pembangkit nuklir untuk keperluan militer dikarenakan proses dalam sistem reaktor generasi sebelumnya. Uranium dalam sistem reaktor terdiri dari dua jenis, U 235 (3-5 persen) dan sisanya U 238. U 235 akan mengalami reaksi inti dan akan terjadi pembelahan menghasilkan energi dalam bentuk netron yang secara terus menerus bertumbukan dengan U238 yang berada di sekelilingnya. Tumbukan tersebut menghasilkan Neptonium U 239 yang meluruh mengeluarkan beta menjadi Plutonium (Pu 239).
“Jika plutonoium yang dihasilkan jauh lebih banyak dibanding proses U 235, maka dapat berpotensi disalahgunakan untuk membuat bom. Bahkan, ada reaktor yang dibuat untuk menghasilkan plutonium sebanyak-banyaknya atau disebut fast breeder reactor,” paparnya.
Namun, melalui teknologi PLTN generasi IV, Pu 239 yang dihasilkan akan diproses kembali untuk menghasilkan energi. “Perhitungannya lebih kompleks karena spektrum tenaga netronnya tidak sederhana,” ujarnya.
Teknologi generasi IV menjadikan penggunaan bahan bakar untuk PLTN akan berlangsung secara terus menerus. Artinya, jika umur PLTN menggunakan uranium sekitar 65-70 tahun, maka dengan teknologi generasi IV ini akan terus berlanjut dengan menggunakan bahan bakar plutonium yang dihasilkan tersebut. “Masa operasional PLTN bisa meningkat tiga kali lipat,” ujarnya.
Dari sisi produksi, selain menghasilkan listrik, PLTN generasi IV juga dapat memproduksi hidrogen, karena penggunaan temperatur yang mencapai 500-1000 derajat (produksi dengan kimia panas). “Produksi cogeneration, selain listrik, juga menghasilkan hidrogen, gasifikasi, liquidisasi atau pencairan batu bara. Bahkan bisa digunakan desalinasi air laut, sehingga lebih efisien,” ujarnya.
Kapasitas produksi listrik PLTN generasi IV bisa untuk skala kecil, sekitar 300 MW. “ Jadi bisa ditempatkan di wilayah energi listrik dengan grid kecil. Produksinya tidak hanya satu reaktor tapi juga beberapa reaktor,” ujarnya.
Generasi IV diperkirakan siap operasional sekitar 2025-2030 dengan berbagai jenis sistem reaktor. Namun, ditengarai, Afrika Selatan akan menjadi negara pertama di dunia yang siap meluncurkan PLTN generasi IV ini . “Ditargetkan, pada 2014, Afsel akan mengoperasionalkan, sedangkan negara-negara lain diperkirakan baru mengembangkan PLTN generasi IV sekitar 2030,” ujarnya.
Sementara, dibelahan dunia lain, India juga bergiat memanfaatkan reflektor yaitu thorium (Th) sebagai pengganti U 235. Jika Th mengenai netron akan menjadi U 233 yang sifatnya sama dengan U 235. “India memiliki teknologi luar biasa yang tidak dimiliki negara lain dengan memanfaatkan Th. Jadi, jika negara lain kehabisan uranium, India justru bisa memproduksi uranium jenis U233. Kendati dikritik memiliki sifat toksid lebih banyak dibanding U235, namun demikian India tetap memiliki cadangan energi lebih banyak di masa depan,” ujar Hudi Hastowo. (Lea)
0 komentar